
Muchaji, pria asal Bangkalan, Madura yang kini sukses membuat rumah sakit di Jakarta.
Cuma berbekal ijazah SMA, Muchaji menjelma menjadi juragan besi tua. Ia juga mendirikan rumah sakit untuk anaknya yang menjadi dokter.
Rongsokan kapal dan kapal karam hingga pabrik-pabrik tua yang tak beroperasi lagi menjadi incaran utama Haji Muchaji, 65 tahun, sejak 1976. Karena pergaulan dengan teman-temannya, ia memilih menekuni usaha di bidang tersebut ketimbang berbisnis barang antik seperti orang tuanya.
“Ah, saya enggak perlu mencuat (terkenal),” kata lelaki asal Bangkalan, Madura, itu sambil tertawa saat ditemui detikX, Jumat, 13 November 2015. Meski sudah hampir 40 tahun menetap di Ibu Kota, logat Madura saat ia berbicara masih kental. Seiring dengan kian berkembangnya usaha, ia tak perlu lagi sering-sering berada di antara tumpukan rongsokan. Sehari-hari Muchaji mengontrol bisnisnya dari kantornya yang nyaman di Jalan Pegangsaan Dua, Jakarta Utara.
Dari luar, kantor berlantai dua itu memang tak terlalu mentereng. Tapi ayah empat anak ini punya cita rasa seni yang lumayan. Semua perangkat mebel di ruang kerjanya buatan Jepara dengan ukiran yang indah. Begitupun dengan partisi di ruang kerjanya dan ruangan lainnya di lantai satu.
Muchaji merintis bisnisnya dengan menjadi pemasok besi tua untuk kawan-kawannya. Karena prospek usahanya semakin menjanjikan, ia mendirikan CV Victory pada 1980. Perusahaan ini memasok besi-besi langsung ke pabrik-pabrik peleburan di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Bisnis besi tua, kata Muchaji, tak memerlukan pendidikan tinggi. Ia mengaku hanya lulusan sekolah menengah atas di Surabaya. “Saya pakai feeling dan pengalaman saja,” ujarnya.
Selain itu, ia membangun jejaring pertemanan dan rajin mencari informasi di lapangan melalui berbagai saluran guna mendapatkan bahan baku. Sering kali ia mengikuti tender pelelangan kapal-kapal atau pabrik tua.
Karena mengandalkan insting, ujar Muchaji, bisnis yang digelutinya berisiko sangat tinggi. Ia beberapa kali rugi karena salah menaksir berat sebuah kapal tua atau berat besi sebuah pabrik tua yang akan dibongkar. “Saya pernah merugi ratusan juta rupiah karena salah perkiraan berat kapal yang ada di laut,” katanya. Setiap bulan ia mampu memasok sekitar 2.000 ton besi tua ke sejumlah pabrik peleburan di beberapa kota.
Selain Victory, ia kemudian mendirikan PT Satyadi Sindutama, yang berkaitan dengan kegiatan menyelam dan mengapungkan kapal tua yang lama karam. Sebab, aturan pemerintah mewajibkan pelaku bisnis di bidang ini memiliki izin menyelam. Selain itu, penyelamnya harus yang berpengalaman dan diasuransikan. “Kadang-kadang perusahaan lain pun ikut menggunakan jasa penyelaman ini,” ujarnya.
Tak semua kapal bekas atau rusak yang ia beli dijadikan besi tua. Bila kondisinya masih memungkinkan direparasi, kapal akan ia pertahankan. Selain untuk dijual lagi, sebagian ada yang dioperasikan sendiri lewat bendera PT Bestindo Citra Samudra, yang didirikan pada 2000.
Muchaji juga merambah bisnis depot kontainer dengan membuat PT Bestindo Central Container. Sedangkan PT Bestindo Putra Perkasa merupakan badan usaha baru yang sebelumnya bernama CV Victory. “Saya mempekerjakan hampir 800 karyawan,” katanya.
Namun tak satu pun dari empat anaknya yang tertarik menekuni bisnis besi tua seperti dirinya. Anak pertamanya memilih menjadi dokter. Muchaji pun mendirikan rumah sakit bagi anaknya di Jalan Plumpang Semper, Koja, Jakarta Utara, pada 7 Agustus 2010. Rumah sakit yang berdiri di atas lahan 3.500 meter persegi bekas rumahnya itu diberi nama Mulyasari. Nama ini diambil dari nama sang anak, Ira Mulyasari. Rumah sakit tiga lantai itu cukup mentereng. “Awalnya hanya mau buat klinik. Tapi, karena desakan banyak orang, ya sudah, sekalian rumah sakit saja,” ujar Muchaji.
Selain karena punya anak dokter, ia mendirikan rumah sakit terutama karena kondisi masyarakat di sekitar rumahnya banyak yang kurang mampu. Ia melihat tetangga kanan-kirinya banyak yang tidak mendapatkan fasilitas kesehatan memadai. Bila mereka hendak berobat, rumah sakit terdekat ada di kawasan elite Kelapa Gading dengan biaya perawatan selangit. “Warga sekitar saya kan kurang mampu, makanya saya taruh rumah sakit di situ. Tidak mungkin mereka mau ke Kelapa Gading. Berapa biayanya,” katanya. “Tapi di sini kamarnya enggak ada beda, harganya murah.”
Mendirikan rumah sakit ternyata berimbas pada keuangan perusahaan. Tiga tahun pertama ia harus memberikan subsidi untuk biaya operasional dan gaji para dokter serta pegawai. “Setiap bulan harus di-support ratusan juta rupiah. Beruntung, tahun keempat sudah bisa mandiri,” katanya. (MADURAKU.COM/ DETIK.COM)