Oleh: Abdur Rozaki
Kekerasan dan religiusitas selalu dekat dengan citra simbolik orang Madura. Padahal dua kosa kata itu secara teoritis memiliki kandungan makna yang berbeda bahkan saling berseberangan satu sama lain. Orang yang religius selalu membawa sikap hidup asketis dan jauh dari berbagai anasir dan tindakan kekerasan. Sebaliknya, seseorang yang dalam sisi kehidupannya akrab dengan dunia kekerasan akan jauh dengan sikap hidup asketis. Namun realitas sosial selalu saja menghadirkan kompleksitas masalah yang tidak selalu merujuk pada normatifitas teori yang bersifat literal. Kekerasan dan religiusitas dalam konteks kebudayaan tidaklah hadir dalam ruang hampa. Eksistensinya selalu beririsan dengan relasi kuasa dan kepentingan antar aktor di dalam struktur sosial masyarakat (Foucault; 2002).
Kekerasan dan religiusitas keduanya merupakan anak kandung kebudayaan
manusia. Bila melihat konteks dan motif, kekerasan selalu memiliki banyak ragam. Misalnya, tradisi carok di dalam masyarakat Madura sebagai upaya penyelesaian konflik dengan kekerasan. Apakah dengan melukai seseorang dengan luka berat sampai pada bentuk pembunuhan sangat terkait erat dengan hasrat dan rasa menjaga kehormatan dan harga diri. Orang Madura akan melakukan carok bila harga diri dan kehormatannya merasa terusik, diganggu atau dilukai. Rasa terusik bila itu berkembang pada perasaan malu, atau dalam bahasa Maduranya maloh atau todus akan bermuara pada tindakan carok. Bahasa Madura yang popular menegaskan dalam konteks ini adalah ‘ango’an pote tolang etembang pote matah’, artinya lebih baik
putih tulang dibandingkan putih mata. ‘Hidup itu tidak ada maknanya kalau
kehilangan harga diri.
Rasa kultural yang menimbulkan rasa maloh dapat menimbulkan tindakan
kekerasan atau carok di dalam pengalaman orang Madura berkaitan dengan kasuskasus berikut ini; 1) gangguan atas istri. Orang Madura akan mudah terpancing dan melakukan pembelaan dalam bentuk carok kalau istrinya diganggu. Begitu juga dengan adanya sikap cemburu, kalau kemudian terjadi perselingkuhan sang istri dengan orang lain. Lelaki yang berselingkuh dengan istri orang itulah yang akan menjadi sasaran dari sang suami. 2) balas dendam. Upaya melakukan pembalasan bila terdapat diantara salah satu anggota keluaraga yang terbunuh. 3) mempertahankan martabat dan 4) mempertahankan harta warisan. (Wiyata, 2002; 89-159). Jadi dalam
peristiwa carok motif dan sasarannya sangat jelas, yakni individu yang sedang saling berselisih paham yang sulit didamaikan karena sudah menyangkut harga diri yang terluka.
Orang Madura yang melakukan tindakan kekerasan, dalam bentuk carok untuk
membela harga diri dan kehormatan, baik kerena dipicu oleh kasus-kasus di atas atau yang sejenisnya akan dinilai, dan dipandang memiliki keberanian sebagai seorang blater. Orang Madura yang mengambil jalan ‘toleran’, bukan tindakan carok ketika dihadapkan dengan kasus-kasus pembelaan harga diri seperti di atas akan dipandang oleh masyarakat Madura sebagai orang atau keluarga yang tidak memiliki jiwa keblateran. Banyak kasus menunjukkan di dalam masyarakat, yakni seseorang yang sebelumnya dipandang bukan sebagai golongan blater, disebut sebagai blater oleh warga lainnya karena berani melakukan carok. Apalagi menang dalam adu kekerasan carok itu. Jadi penyebutan masyarakat atas sosok blater dalam hal ini sangat erat kaitanya dengan keberanian melakukan carok dalam menghadapi konflik dan permasalahan di dalam lingkungan masyarakat. Di sini carok dijadikan sebagai arena legitimasi untuk mengukuhkan status sosial seseorang sebagai seorang blater. Jadi identitas keblateran dapat merujuk pada sifat pemberani, angkuh dan punya nyali menempuh jalur kekerasan dalam penyelesaian konflik harga diri. Meskipun carok bukanlah satu-satunya arena untuk melegitimasi status seseorang menjadi blater.
Masih banyak arena sosial lainnya yang membentuk dan memproses seseorang menjadi blater. Misalnya, kedekatan seseorang dengan tradisi kerapan sapi, sabung ayam, jaringan kriminalitas dan remoh blater. Begitulah antara lain reproduksi kultural blater di masa kini. Dinamika yang berlangsung menciptakan kultur dan komunitas tersendiri di dalam masyarakat Madura. Tak heran bila seseorang sudah memiliki identitas dan status sosial sebagai seorang blater eksistensinya memiliki posisi sosial tertentu di dalam masyarakat Madura. Sosok blater selalu disegani dan dihormati secara sosial. Sangat jarang sekali ditemukan seseorang yang sudah dikategorikan sebagai blater dipandang rendah secara sosial.
Dari sudut pandang sosial, blater dapat muncul dari strata dan kelompok sosial manapun di dalam masyarakat Madura. Apakah itu di dalam lingkungan dengan latar belakang sosial keagamaan yang ketat (baca: santri), atau lingkungan sosial blater. Tak jarang ditemukan pula, seseorang yang sebelumnya pernah menjadi santri di pondok pesantren dalam perjalanan hidupnya berubah menjadi seorang blater. Blater yang memiliki latar belakang santri, umumnya pandai mengaji dan membaca kitab kuning. Bagi masyarakat Madura sendiri bukanlah sesuatu yang aneh bila seorang blater pandai mengaji dan membaca kitab kuning karena dalam tradisi masyarakat Madura, pendidikan agama diajarkan secara kuat melalui langgar (mushalla), surau, masjid dan lembaga pesantren yang bertebaran di hampir setiap kampung dan desa. Konteks ini pula yang membuat blater dengan latar belakang santri memiliki jaringan kultural dan tradisi menghormati sosok kiai.
Peran agama (islam) begitu sentral dalam dinamika kehidupan masyarakat
Madura. Berbagai ritus sosial selalu dikaitkan dengan spirit keagamaan dengan kiai sebagai aktor utama. Dinamika sosial ini membuat agama memiliki akar dalam struktur sosial dan kultural masyarakat sehingga mengalami proses penyatuan identitas. Dalam proses inilah agama islam menjadi bagian dari martabat dan harga diri orang Madura. Ketika agama sudah menjadi bagian dari harga diri dan martabat itulah maka adanya gangguan atau sesuatu yang berbau melecehkan agama, disepandankan dengan melecehkan harga diri dan identitas kemaduraan. Dengan demikian, adanya gangguan atau pelecehan atas nama agama dapat menimbulkan resistensi. Proses kultural ini dipersepsikan sebagai bentuk dari religiusitas kemaduraan.
Dinamika kultur kekerasan dan religiusitas di dalam masyarakat Madura
sama-sama memiliki aktor utama, yakni blater dan kiai. Keduanya dapat dipandang sebagai rezim kembar yang memiliki kekuatan dalam mereproduksi wacana, kultur, tradisi dan jejaring kuasa di tengah masyarakat. Blater dengan legitimasinya sebagai pengendali dan pengelola mesin-mesin kekerasan kerapkali menghegemoni masyarakat. Banyak media dan ritus sosial blater untuk menghegemoni masyarakat, seperti kebiasaan remoh, sabung ayam, media pencak silat, kerapan sapi dan ritus kekerasan dan kriminalitas lainnya. Media sosial ini membentuk subkultur sendiri dalam masyarakat Madura. Begitu pula dengan kiai, dengan kapasitas dan kemampuannya dalam menafsirkan wacana agama mampu menghegemoni struktur terdalam di ruang batin, pikiran dan perilaku masyarakat. Media-media keagamaan yang bertebaran di Madura dengan sendirinya membuat kiai semakin signifikan dalam dinamika masyarakat Madura.
Kedua aktor ini dalam praktek sosialnya, terkadang saling berseberangan paham dan visi. Namun dalam konteks tertentu tak jarang pula saling menjalin relasi kultural, ekonomi dan politik kuasa. (Rozaki;2004). Dalam konteks inilah citra simbolik kekerasan dan religiusitas saling berkelindan dan berdialektika dalam ruang-ruang sosial masyarakat Madura. (Bersambung ke-2)