Kiai dan Blater di Madura (2)

Melacak Historisitas Blater
Historisitas atau fenomena sejarah keblateran dalam banyak hal seringkali merujuk pada sosok jagoan sebagai orang kuat di masyarakat pedesaan. Tak heran bila konstruksi tentang keblateran sangat terkait pula dengan konstruksi jagoanisme di dalam masyarakat. Blater adalah sosok orang kuat di Madura, baik secara fisik maupun magis dan biasanya dikenal memiliki ilmu kebal, pencak silat atau ilmu bela diri. Seorang jago/blater dapat dengan mudah mengumpulkan pengikut, anak buah dengan jumlah yang cukup besar. Meskipun besaran jumlah pengikutnya sangat tergantung atas kedigdayaan ilmu (kekerasan) yang dikuasainya. Sosok jago atau blater yang sudah malang melintang di dunia kekerasan, dan namanya sudah sangat tersohor karena ilmu kesaktianya akan menambah kharisma dan kekuatannya untuk mempengaruhi banyak orang. Kondisi ini mengantarkan sosok jagoan selalu memiliki peran signifikan di tengah masyarakat. Sejak di era prakolonial organisasi jago menjadi satu-satunya alat penguasa. Bahkan seorang raja seringkali dinisbatkan pada sosok seorang jago, meskipun untuk menjadi Raja, sebelumnya harus memiliki wahyu kedaton sebagai legitimasi. Dalam prakteknya kekuatan politik seorang penguasa tak jarang diukur dari kapasitas personal melalui banyaknya jumlah pengikut yang dimilikinya sehingga sosok raja tidak lain adalah seorang superjago. (Ong Hok Ham, 2002;102).

Mengamati sejarah kekuasaan di masa lampau memberikan gambaran bahwa kekuasaan para raja dalam menegakkan kekuasaannya juga seringkali melibatkan para jago. Terlebih dalam konteks persaingan perebutan kekuasaan. Para jago sering pula disebut sebagai tukang pukul raja. Novelis berkebangsaan Belanda yang bernama Alberts mengatakan bahwa pada tahun 1710, dalam sebuah cerita pendeknya menceritakan bahwa pernah terjadi suatu peristiwa di sebuah desa di Sumenep Madura, yakni ada seorang bandit atau jagoan yang mampu mengorganisir banyak orang sebagai pengikutnya dengan tujuan untuk merebut kekuasaan raja di Sumenep. Sang bandit itu berhasil menjebol barikade pasukan istana raja, dan dalam beberapa saat ia merebut istana dan mentasbihkan diri sebagai seorang raja. Bandit tadi mengaku masih memiliki ikatan geneologis dengan Sedyadiningrat, seorang raja Madura di masa lalu. (De Jonge, 1995).

Cerita yang lebih ditempatkan sebagai legenda ini dilihat sebagai bagian dari epistemologi-pengetahuan yang direproduksi hingga saat ini oleh masyarakat sekitar. Cerita lainnya adalah tentang Ke’Lesap, seorang anak yang masih memiliki keturunan raja Madura yang bernama Cakraningrat III, yang dilahirkan dari seorang selir dan hidup di lingkungan luar istana raja. Ia mampu mengorganisir pengikutnya untuk melakukan pemberontakan terhadap raja di Bangkalan. Kemahirannya dalam strategi perang membuat satu persatu daerah di Madura, mulai dari Sumenep, sampai di daerah Blega Bangkalan dikuasainya. Hampir saja sang raja ditaklukkan olehnya, namun pemberontakannya digagalkan oleh siasat diplomatis utusan sang raja yang
berkedok dengan pura-pura menyerah dan melakukan penawaran bahwa raja
berkenan bertemu sang jagoan Ke’Lesap. Raja memintanya untuk tinggal di istana melalui pengakuan bahwa Pa’Lesap atau populer disebut dengan Ke’Lesap masih keturunan sang raja. Ke’lesap akhirnya ikut ke istana. Di dalam istana ia dihabisi secara perlahan sampai gerakannya untuk menggulingkan sang raja berhasil ditumpas secara halus. (Irsyad, 1985).

Begitu pula tentang cerita Sakera yang begitu melegenda di kalangan warga
Madura. Sakera adalah jagoan keturunan Madura yang melakukan perlawanan
terhadap Belanda di daerah Pasuruan. Daerah yang disebut dengan nama tapal kuda, berlokasi di bagian pulau Jawa di bagian timur yang penduduknya multi etnik, namun sebagian besar keturunan Madura. Kebanyakan di daerah tapal kuda ini, seperti Pasuruan, Probolinggo, Jember, Situbondo dan Banyuwangi, bahasa Madura dipergunakan secara populer sebagai bagian dari bahasa keseharian, disamping juga bahasa Jawa. Cerita tentang jagoan keturunan Madura ini terjadi di daerah Pasuruan. Sakera adalah sosok blater atau jagoan yang tidak mau tunduk terhadap penjajah Belanda. Sakera memiliki ilmu bela diri dan ilmu kebal. Peluru pasukan Belanda tidak mampu menempus tubuh Sakera dalam suatu pertempuran. Berkali-kali pasukan Belanda berupaya menumpas perlawanan Sakera, dan selalu gagal. Sampai akhirnya Belanda mengetahui kelemahan kekuatan ilmu kebal Sakera. Sakera di jebak oleh Belanda dalam suatu kegiatan kesenian rakyat yang bernama sandur. Sakera diperbolehkan menari, dengan syarata melepas seluruh jimat yang dimilikinya. Usai jimat dilepas, dalam suasana ia sedang menari dengan perempuan pasukan Belanda menyergapnya dan peluru pun ditembakkan ke tubuhnya. Sakera terkapar dan meninggal saat itu juga. Cerita ini menjadi legenda hidup di kalangan masyarakat Madura hingga saat ini. Masyarakat Madura sangat senang dan bangga bila mendengar atau diceritakan ulang berkenaan dengan kisah Sakera ini. Ada rasa kebanggaan atas sosok keblateran dan jiwa kepahlawanannya. Meskipun cerita itu mengandung bahu kekerasan akan makna perlawanan.

Studi akademis yang dilakukan oleh Anton Lukas menarik pula untuk
diketengahkan di sini terkait dengan peran blater (jagoan) yang berasal dari Madura yang bernama Kutil di lokasi meletusnya peristiwa tiga daerah di Jawa Tengah. Kutil dikenal memiliki pengetahuan agama yang begitu baik di tengah masyarakat, namun sangat akrab pula dengan dunia ‘hitam’, kriminal. Dalam studi Lukas disebutkan, bagaimana tokoh Kutil ini dapat bermain di dua kaki. Di satu sisi ia mengusai betul dan memiliki akses terhadap dunia hitam, tetapi kesadaran keagamaan yang cukup baik membuat dirinya dikenal sebagai tokoh yang dihormati pula dalam pergaulan masyarakat yang ‘normal’. Tokoh Kutil dengan kekuatan akses yang dimilikinya di tengah masyarakat yang ‘normal’ dan di kalangan ‘dunia’ hitam membuatnya menjadi jembatan bagi kekuatan republik dalam mengorgansir berbagai bentuk perlawanan masyarakat, termasuk dari kalangan para lenggaong atau jagoan ini. Sebagai sosok yang memiliki kesadaran republiken, sang pemberani ini menjadi salah satu aktor
yang mengorganisir masyarakat melawan sisa-sisa penjajah yang tergabung dengan NICA.

Sosok Kutil menjadi cerminan jiwa keblateran. Ia memiliki karakter yang kuat, pemberani dan luwes dalam pergaulan sehingga memiliki pengaruh di dalam masyarakat.

Bila dilihat dari asal usul sosial (social origin) dengan mengacu pada sistem ekologis Madura, kemunculan komunitas blater terkait pula dengan ekosistem tegalan dengan area tanah pertanian yang tandus, gersang dan tidak produktif bagi sistem pertanian sawah. Kondisi ini diperparah pula oleh adanya curah hujan yang sangat terbatas membuat para petani Madura menghasilkan produk pertanian yang serba terbatas. Kondisi ini secara langsung menciptakan kondisi kemelaratan dan kemiskinan di kalangan warga desa. Lahan pertanian yang tidak memberikan keuntungan ekonomis disertai peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi dari tahun ke tahun menciptakan problem ekonomis yang cukup akut. Kondisi ini tak jarang membuat orang Madura mengambil pilihan untuk migrasi sebagai solusi yang dianggap strategis guna memperbaiki masa depannya. Sekalipun pada kenyataannya migrasi bukan pula jalan satu-satunya dalam perbaikan nasib atau cara untuk dapat bertahan hidup (survival of life). Cara lain yang oleh sebagian anggota masyarakat dipandang sebagai cara atau jalan “hitam” adalah dengan menjadi bandit atau blater. Kondisi awal keblateran adalah cara bagi anggota masyarakat untuk bertahan hidup akibat kemiskinan yang dideritanya. Tindakan mencuri, bahkan terkadang dengan membegal (merampok) adalah gerak spontan agar dapat bertahan hidup. Bahkan jalan pintas mengatasi kemiskinan dapat dilakukan dengan menjadi bandit, preman dan sejenisnya. Meskipun pengalaman ini tidak hanya terjadi di Madura semata. Di berbagai tempat belahan dunia lainnya, seperti di Amerika Latin juga mengalami hal tidak jauh berbeda.(Hobsbawm:1981).

Karakter religius Madura seolah ‘terbelah’ oleh kondisi basis material
ekologis ini. Mengapa? sebab dalam konteks sosio-ekologis ini, tidak semua orang atau komunitas di Madura ‘terserap’ ke dalam wacana dan ritual keagamaan yang di bawa oleh kiai sebagai agen sosial di desa seperti dalam pengamatan Kuntowijoyo.

Sebab struktur ekologi pertanian yang tidak produktif tersebut juga melahirkan proses sosiologis yang tidak selalu merujuk pada keberagamaan yang dikembangkan oleh para kiai. Pada kenyataannya terdapat proses sosial lain yang dibangun oleh individu atau komunitas sosial Madura, yakni lahirnya eksistensi komunitas (ke)blater(an). Bila di masa awal keblateran ini adalah ekspresi spontan untuk mengatasi problem hidup akibat kondisi kemiskinan dan kemelaratan maka pada tahap perkembangan selanjutnya mengalami ideologisasi. Dalam arti, dengan menjadi blater, atau bandit dapat memberi jalan guna mengatasi kemiskinan dan beban hidup yang menghimpitnya. Apalagi tidak semua pemuda yang memiliki etos produktif dan jiwa pemberani, menyerah dengan begitu saja dengan kondisi alam yang tandus, gersang yang menjadi penyebab kondisi kemiskinan. Dengan menjadi blater atau bergabung dengan komunitas blater bagi seorang pemuda desa, dapat membangun kehormatan diri sebagai ‘sang pemberani’ atau jagoan di desa yang dengan sendirinya dapat membangun hidup lebih baik dibandingkan dengan bekerja sebagai petani yang tidak memberikan penghasilan berkecukupan.

Realitas kemiskinan dan berbagai bentuk kemelaratan yang dialami oleh
masyarakat Madura, tidak saja karena kondisi sistem ekologis-pertanian tegalan yang tidak memberikan keuntungan ekonomis, akan tetapi juga diakibatkan karena struktur dan bangunan kekuasaan yang tidak mempedulikan kondisi perbaikan hidup masyarakat. Masyarakat Madura sejak di masa lalu mengalami eksploitasi oleh ‘kekuasaan kembar’, yakni para kaum aristokrat-ningrat yang menjalankan birokrasi kekuasaan dengan berkolaborasi dengan kekuasaan Belanda yang tidak saja memeras secara ekonomi, juga fisik dan mentalitas masyarakat. Proses kapitalisasi yang berlangsung di Madura semakin memarginalisasikan penduduk desa, sebaliknya memberikan keuntungan pada pihak Belanda, kaum ningrat-aristokrat dan para pemodal, yang kebanyakan warga keturunan Cina. Dalam kondisi demikian, tidak jarang muncul pencurian tanaman pangan, sapi dan komoditi lainnya yang disertai dengan kekerasan, bahkan pembunuhan. (De Jonge;1989,76).

Perilaku perbanditan, disertai dengan kekerasan bahkan pembunuhan,
pencurian, perampokan dan pembakaran di Madura mulai marak saat kekuasaan kolonialisme Belanda merambah kawasan ini. Negara kolonial tentu sangat risau dengan perangai dan perilaku orang Madura ini karena dapat menguncang stabilitas keamanan dan perdagangan. Guna mengatasi perbanditan di pedesaan ini, Belanda jarang sekali menggunakan pendekatan hukum–proses pengadilan—tetapi yang paling dominan yang dilakukan di Madura adalah dengan cara kekerasan (represif) dan pola berkolaborasi terselubung dengan para bandit itu sendiri. Menangkap bandit dengan bandit, begitulah cara yang paling sering digunakan. Selain cara ini dianggap lebih efisien juga karena negara kolonial tidak cukup mampu menkooptasi seluruh kekuatan masyarakat sampai ke akar-akarnya di pedesaan. Pola dan cara itu dianggap efektif dilakukan, disebabkan pula tidak adanya niatan dari pihak kolonialis untuk membangun institusionalisasi negara yang berorientasi pada stabilisasi keamanan untuk kemakmuran masyarakat lokal. Dalam konteks ini, kekuasaan kolonialis juga ditegakkan melalui jasa para bandit, blater sebagai sosok jagoan desa.

Berdasarkan uraian di atas maka secara sosio-ekologis, fenomena blater,
jagoan sangat berhubungan erat dengan kondisi sosio-kultural masyarakat. Di samping faktor struktural lainnya, khususnya di dalam format negara kolonialis yang tidak mendorong adanya pelembagaan negara yang efektif dalam proses penegakan hukum dan keadilan. Ketika terjadi praktek ketidakadilan, akhirnya masyarakat menegakkan hukumnya sendiri, sekalipun dengan jalan kekerasan karena hal itu dianggap sebagai cara membela diri (self help). Konflik dalam bentuk tindakan carok dalam studi De Jonge terjadi dalam konteks ketiadaan peran negara dalam memberikan rasa aman dan perlindungan atas warga masyarakat Madura. Lebih lagi di masa lalu, pengalaman Madura yang selalu gagal menciptakan kerajaan yang mandiri, juga ikut andil bagaimana masyarakat mengelola sendiri sistem kekerasan tanpa melibatkan peran institusi pemerintahan (baca; kerajaan). Eksistensi kerajaan di Madura selalu berada dalam bayang-bayang dominasi kerajaan Jawa, mulai dari ekspansi kerajaan Singosari sampai Mataram. (DeGraaf: 2001).

Dalam praktek negara di masa lampau, terutama di masa kerajaan, kekuasaan
selalu mendasarkan diri pada kharisma raja dan penguasa yang ditopang melalui pemeliharaan para jagoan untuk melanggengkan kekuasaan. Begitu pula yang terjadi di masa kolonial, negara sebagai institusi kekuasaan tidak cukup mampu menerapkan tertib hukum. Bahkan negara kolonialis memanfaatkan para blater sebagai alat pengintai (informan) yang membuat eksistensi blater seolah terlindungi oleh kekuasaan formal yang ada. Saling tukar menukar jasa untuk penguatan masing-masing kekuasaan yang dimiliki secara tidak langsung merupakan bentuk saling mengakomodasi kekuasaan yang dimilikinya. Bahkan model saling pemanfaatan antarblater dengan aparat negara seperti polisi masih berlangsung dalam praktik negara modern di masyarakat Madura sampai di era Reformasi sekarang ini.
Jadinya, eksisnya komunitas blater sangat berkaitan pula dengan lemahnya
institusionalisi dan penegakan hukum secara adil di masyarakat. (Bersambung ke-3)

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.