Bertemunya realitas sosio-kultural masyarakat dengan struktur kekuasaan negara yang saling mengakomodasi unsur-unsur premanisme membuat entitas blater memiliki elasitas, kelenturan sehingga dapat hadir di berbagai posisi kultural dan struktural. Pengalaman di masa Orde Baru ketika praktik banditisme begitu marak di Madura pada tahun 1980, pemerintah pusat mengelar operasi bagi kaum blater atau bajingan yang dikenal dengan sebutan petrus (penembak misterius). Operasi petrus ini merupakan kebijakan pemerintah Soeharto yang begitu resah dengan makin meningkatnya kriminalitas di Ibu kota dan kota-kota besar, termasuk di tingkat pedesaan. Guna mengurangi kejahatan sosial di tanah air. Di kabupaten Bangkalan, tokoh blater juga menjadi sasaran petrus. Dua orang blater yang seringkali melakukan aksi kejahatan, seperti pembunuhan yang bernama Haji Suud bersama dengan saudaranya diburu polisi dalam operasi petrus sampai keduanya tewas mengenaskan. Dua orang blater ini semasa hidupnya, sangat menguasai jalur perdagangan perkapalan di pelabuhan Pasisiran Madura—Pontianak Kalimantan Barat. Pengaruh dan otoritas sosial Haji Suud kala itu dapat mengalahkan peran kepolisian di Kecamatan Tempuran, terbukti dari beberapa kali ia membunuh orang, dirinya selalu lolos dari jerat hukum sehingga tidak pernah dipenjara.
Namun demikian, bukan berarti kebijakan petrus ini dengan sendirinya membuat kekuasaan negara ini membersihkan secara total para aktor perbanditan dan jaringan kriminalitas di tengah masyarakat, sebab tidak lama setelah itu, khususnya ketika kekuasaan lagi-lagi membutuhkan keterlibatan blater, preman untuk pemeliharaan kekuasaannnya, elemen blater digunakan kembali sebagai mitra. Terutama setiap menjelang pemilu, di saat rezim Orde Baru ingin memperbaharui legitimasi kekuasaannya.
Jaringan kerjasama terselubung antara blater dengan aparat keamanan sudah
menjadi pemandangan umum di Madura. Jalinan ini terbentuk karena terdapat proses yang saling memberikan keuntungan bagi keduanya, baik secara politik dan ekonomi. Pemerintah dapat meminjam ‘tangan’ blater untuk merepresi warga untuk mendukung partai pemerintah tanpa perlu susah payah. Bagi blater sendiri koneksi dengan pemerintah membuatnya merasa terlindungi dari mesin-mesin hukum, terutama dalam hal menjalankan bagian dari profesinya yang bersentuhan dengan aksi kriminalitas. Pola hubungan blater dengan aparat kepolisian, khususnya tidak hanya berlangsung pada saat pemilu semata. Hubungan itu berlanjut pasca pemilu terkait dengan transaksi ekonomi politik kasus-kasus kriminalitas. Misalnya adanya peranan blater sebagai broker kasus melalui praktek suap bila seseorang ingin bebas dari jerat hukum ketika melakukan carok atau kasus kriminalitas lainnya. Pola kerjasama demikian bahkan di era Reformasi pun masih berlangsung, meskipun secara terselubung.
Dengan demikian asal usul sosial (sosial origin) blater dan perbanditan di Madura sangat terkait pula dengan struktur ekologis dan gerak sosiologis masyarakat dalam merespon kondisi sosial yang dihadapinya. Tumbuhnya komunitas blater sebagai suatu kekuatan sosial masyarakat, terutama di kawasan pedesaan dengan demikian merupakan produk dari pergumulan sosiologis masyarakat. Di tengah keterjepitan ekonomi dan kapitalisasi pembagunan yang tidak memberdayakan masyarakat, tindakan pencurian atau perampokan terhadap kepemilikan lahan dari kaum kapitalis (kolonialis) dan ningrat oleh para pembangkang atau pemberani desa yang seringkali disebut pula dengan sosok sang jagoan, dapat dilihat sebagai suatu bentuk perlawanan atau protes sosial terselubung, meminjam istilah James C. Scott, hidden transcript.
Dalam konteks perbanditan atau keblateran ini dapat diklasifikasikan,
meminjam pandangan Goerge Rude (1985), ke dalam tiga bagian; 1) kejahatan akuisitif (ketamakan), 2) kejahatan sosial dan survival, 3) kejahatan protes. Tiga pengklasifikasian ini berkesesuaian bila dilihat dari motif bahkan ideologi perbanditannya yang terjadi di Madura, sebab tidak semua kasus perbanditan di Madura dapat dilihat sebagai suatu bentuk protes sosial, upaya sekedar agar dapat bertahan hidup, namun juga karena motivasi kejahatan sosial yang disertai dengan motif ketamakan, ingin memperkaya diri dan keluarganya.
Kiai-Blater Jadi Bupati
Pasca Reformasi seiring dengan diberlakukanya politik desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia geliat politik lokal menampakkan ragam dinamika. Salah satu diantaranya adalah munculnya orang kuat di tingkat lokal dalam mengakses kekuasaan. Orang kuat lokal atau disebut pula dengan bos lokal (bossism) tumbuh bertebaran dengan memanfaatkan kran demokratisasi dan angin keterbukaan politik. (Jhon Harris, dkk: 2004).
Begitu pula yang terjadi di Madura. Bila di masa Orde Baru sangat sulit menemukan bupati yang memiliki latar belakang dari komunitas blater atau kiai, maka di era Reformasi yang menduduki jabatan bupati di empat kabupaten yang ada di Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) begitu beragam dilihat dari latar belakang sosialnya. Ada yang berasal dari kultur sosial sebagai seorang kiai, militer/tentara dan kiai blater. Yang terakhir ini sosok yang dibesarkan di dua lingkungan sosial, yakni santri atau kiai dan komunitas blater. Orang-orang lokal menyebutnya sebagai kiai blater. Jabatan politik formal di tingkat kabupaten, hampir sepunuhnya dikuasai oleh figur yang memiliki akar kultural di masyarakat. Kecuali di kabupaten Sampang, figur polisi, yakni Fadillah Budiono dapat mempertahankan posisi sebagai bupati pasca Reformasi melalui pemilihan yang dilakukan oleh parlemen lokal. Terpilihnya Fadillah Budiono untuk kedua kalinya sebagai bupati ditandai oleh konflik dan kekerasan di tingkat parlemen dan masyarakat. Gedung DPRD Sampang hangus terbakar dan menjadi petanda akibat konflik itu.
Di tengah pertikaian politik itu, berbagai pihak yang berkonflik, semuanya menggunakan jasa blater terutama dalam memobilisasi rangkaian demonstrasi massa.
Dengan adanya ruang yang lebih terbuka bagi figur lokal untuk berebut kursi kekuasaan di tingkat kabupaten maka kompetisi politik menjadi lebih dekat di tingkatan basis sosial masyarakat. Mereka yang memiliki kultur, jaringan dan modal sosial lainnya dapat lebih mudah untuk tampil kepermukaan. Tak terkecuali figur blater yang berasal dari habitus dunia kekerasan dan kriminalitas. Bila sebelum ini politik kuasa blater hanya di lingkungan pedesaan maka di era Reformasi lokus dan pengaruh politiknya lebih luas, yakni di tingkatan kabupaten. Bukan berarti sebelum ini tidak ada pengaruh blater yang melampaui tapal batas di lingkungan desanya.
Fenomena pengaruh blater melampaui batas-batas desa ada namun kecenderungannya karena adanya koneksi dengan kekuasaan formal di tingkat kabupaten atau propinsi yang umumnya dipegang oleh militer. Dalam konteks ini ada proses pengorbitan figur blater oleh kalangan aparat keamanan. Reformaasi politik selain mendorong pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah juga mendorong perubahan format politik dalam renkruitmen politik, seperti adanya pemilu DPR(D) melalui basis parpol dan keterwakilan perolehan suara di tingkat komunitas serta adanya pemilu presiden, gubenur dan bupati secara langsung. Bagi komunitas blater semua peristiwa politik itu menjadi peluang sekaligus komoditas politik yang dapat meningkatkan daya tawar politik dan ekonomi. Prosesnya apakah dengan cara terlibat secara langsung dengan menjadi tim sukses atau secara tidak langsung, yakni melalui pengaruh kultural yang dimilikinya di tengah masyarakat.
Era Reformasi makin menunjukkan perluasan arena politik blater, dari ranah kultural ke struktural. Dari tingkatan politik pedesaan pada politik perkotaan. Peristiwa politik di Kabupaten Bangkalan makin menegaskan akan hal itu. Setelah sebelum ini jabatan bupati selalu dikuasai oleh kalangan tentara atau lingkungan birokrasi maka pasca Reformasi figur blater dapat mengambil alih kekuasaan lokal itu. Figur atau sosok Fuad memang berasal dari lingkungan keluarga santri. Kakeknya adalah kiai terpandang di Bangkalan bahkan Madura, dan keluarganya banyak yang mendirikan pesantren serta memiliki pengaruh di masyarakat, parpol dan birokrasi pemerintahan. Namun secara sosial ia dibesarkan di dalam tradisi dan komunitas blater. Posisi ini membuatnya memiliki pengaruh di dua komunitas, blater dan kiai. Ketika Fuad terpilih sebagai bupati melalui pemilihan di tingkat parlemen lokal, warga masyarakat menyebutnya sebagai kiai blater terpilih sebagai bupati.
Dalam kasus pemilihan bupati secara langsung oleh rakyat di kabupaten
Sumenep dimenangkan oleh Ramdan Siraj, yang berasal dari asal usul sosial dari lingkungan kiai. Keberhasilannya dalam kompetisi Pilihan Bupati (Pilbub) adanya dukungan blater juga tidak dapat dinafikan. Di Sumenep sebagian besar para kepala desa atau Klebun juga memiliki kultur blater. Posisi sebagai klebun sangat strategis di masyarakat karena dianggap figur yang dituakan, selain kiai. Di daerah Sumenep, para blater—mereka lebih menyebutnya sebagai kelompok bajingan— membuat perkumpulan yang diberi nama ‘Selendang Hitam’. Nama perkumpulan ini dipakai karena umumnya mereka menggunakan fashion selendang atau ikat kepala atau odeng dalam bahasa Maduranya. Sedangkan kata hitam merujuk pada perilaku atau profesinya yang dianggap berdekatan dengan dunia kriminalitas.
Pola perkembangan blater atau bajingan berjaringan melalui organisasi atau perkumpulan makin menandai betapa strategisnya peran politik blater di era Reformasi. Bila mengamati kehidupan ekonomi politik komunitas blater sebelum Reformasi umumnya berada di sekitar sektor informal. Profesi ekonomi yang digelutinya adalah menjalani praktek bisnis uang bunga (rentenir), jasa keamanan dan kekerasan, pencurian, perjudian. Ada pula yang berprofesi sebagai pedagang yang baik, bukannya dengan jalan banditisme, semisal dengan menjalani perdagangan produk lokal, seperti jual beli ternak sapi, perkayuan dan sejenisnya. Kalau toh mereka berkiprah di panggung politik formal, hanya sebatas menduduki jabatan sebagai kepala desa, istilah Maduranya klebun. Desa-desa di Madura kebanyakan dikuasai oleh para blater.
Penguasaan atas politik lokal desa menunjukkan bahwasannya blater memiliki akar sosial dan jaringan serta pengaruh di kalangan warga. Dalam konteks rezim otoritarian Orde Baru memang sulit bagi jaringan blater ini berkembang pada tingkatan yang lebih tinggi, seperti politik-kuasa di tingkat kabupaten. Namun era Reformasi, dimana keterbukaan dan kompetisi politik relatif lebih menjamin bagi mereka yang memiliki dukungan di tingkatan warga masyarakat, politik blater memungkinkan untuk berkembang ke politik formal pada tingkatan kabupaten bahkan sampai tingkat yang lebih puncak lagi. (Bersambung ke-4)