Kiai dan Blater di Madura (4)

Penguasaan ekonomi politik di jalur bisnis kekerasan dan jasa keamanan
sampai saat ini juga tetap dijalaninya karena disitulah habitus yang membesarkannya. Meskipun arenanya kini telah meluas dan bahkan melembaga pada tingkatan politik dan ekonomi formal. Apa saja peran yang dimainkan oleh komunitas blater ini ketika sudah memiliki akses langsung dengan kekuasaan? Mereka kini mulai memahami peluang dan teknik pengelolaan proyek pembangunan melalui birokrasi.

Tak sedikit sekarang para blater yang mendirikan perusahaan, seperti CV. Dengan perusahaan sejenis CV itu mereka kemudian mengikuti tender proyek pengaspalan jalan program pembangunan infrastruktur kabupaten. Para politisi dan top leader birokrasi untuk proyek di tingkatan perbaikan jalan desa lebih banyak memberikan pada perusahaan atau CV para blater sebagai pemenang tender. Jalinan kuasa blater dengan politisi dan birokrasi ini memunculkan simbiosis yang saling menguntungkan. Misalnya, kalau ada kritik atau protes dari mahasiswa, LSM atau kekuatan masyarakat sipil lainnya atas berbagai penyimpangan birokrasi, biasanya kaum blater digunakan untuk membungkam sikap kritis warga. Proses politik pasca Reformasi membuat jejaring blater dengan kelompok sosial lainnya tidak lagi sebatas jalinan kultural, dan politik juga berkembang dalam bentuk hubungan relasi ekonomi yang saling menguntungkan.

Pola pengorganisiran blater di kabupaten Sampang, Bangkalan dan Pamekasan
dalam membangun jaringan atau akses terhadap kekuasaan belum berkembang dalam proses pelembagaan yang terorganisir secara monopolistik ke dalam wadah tunggal, dan juga belum memiliki agenda yang sistematis. Begitu pula dengan yang ada di kabupaten Sumenep, sekalipun sudah memiliki perkumpulan bernama ‘selendang hitam’. Polanya masih berserakan dan bertumpu pada kekuatan dan pengaruh personal sosok keblateran sang ketua. Kapasitas dan kemampuan blater dalam mengorganisir diri ini ternyata berpengaruh pula pada perolehan besaran proyek. Misalnya, kalau kapasitas blater itu hanya berpengaruh di tingkatan desanya maka perolehan proyek pembangunan hanya sebatas di lingkungan desanya saja, seperti pengaspalan jalan kampung dan desa. Jadi kalau ada proyek di tingkat kabupaten masuk desa itu, sang blater itulah yang dominan mengelolanya. Ada pula sosok
blater yang pengaruhnya malampaui lintas desa dan mobilitasnya sampai di tingkatan nasional sehingga memiliki akses pula dalam menikmati proyek-proyek pembangunan yang lebih besar lagi, yakni lintas desa.

Bila dilihat dari praktek sosial yang berkembang, era Reformasi tampaknya
makin menandai kiprah blater yang dulunya hanya berpolitik di lingkaran ‘ekor’ kini mulai merambat di pucuk kepala. Dari menjalani bisnis kekerasan di panggung politik kultural, kini jejaringnya makin meluas di ranah politik formal. Dari politik jalanan ke ranah birokrasi kekuasaan. Persyaratan birokrasi dalam memenangkan tender proyek pembangunan yang dulunya hanya dikuasai kaum profesional, kini mulai dirambah kaum blater. Berbagai formula persyaratan mengikuti tender proyek pembangunan mulai diadaptasi oleh kaum blater. Tak heran bila konflik kepentingan antarkomunitas blater dalam perebutan proyek pembangunan kini juga mulai bermunculan. Meskipun belum berkembang pada pusaran konflik yang terbuka, terlebih sampai bersifat fisik.

Dinamika politik di tingkat desa dan juga di tingkat kabupaten, energinya
berada di tangan dua komunitas, yakni blater dan kiai. Kalau kedua komunitas ini memiliki concern terhadap perbaikan kualitas layanan publik masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan lainnya dalam tata kuasa pemerintahan maka pelaksanaan otonomi dan desentralisasi politik di Madura akan mendulang masa depan yang mengembirakan. Namun, bila kedua komunitas ini tidak memiliki concern atas perubahan dan perbaikan maka masyarakat Madura akan menghadapi masa-masa suram, justru di tengah era desentralisasi yang menjadi dambaan banyak pihak yang begitu lelah dengan sentralisasi di era Orde Baru. Memang ada komunitas lain di luar kedua maisntreams itu, yakni kalangan akademisi. Namun perannya masih belum signifikan dalam mempengaruhi politik kuasa di Madura.

*Judul asli tulisan ini “Social origin dan Politik Kuasa Blater di Madura” dan merupakan bagian dari isi buku berjudul “Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim kembar di Madura” yang diterbitkan pertama kali tahun 2004 oleh Pustaka Marwa yang ditulis Abdur Rozaki, hasil penelitian tentang Kiai dan Blater di Madura. Tulisan ini juga pernah dipresentasikan pada Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009) dimana penulis menjadi pembicara kunci dalam acara itu. (Kembali ke Tulisan Pertama Klik Disini)

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.