
Seperti inilah jamaah shalat Id di Masjid Agung As-Syuhada, Pamekasan pada pelaksanaan shalat Idul Adha 1439 Hijriah. Jamaah laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu sap dan tradisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan telah dipahami oleh ulama dan dosen Perguruan Tinggi Agama Islam yang ada di Pamekasan.
MADURAKU.COM – Jika mayoritas ulama di dunia memisah tempat shalat antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk ketertiban, menjaga kekhusyuan shalat, serta mengantisipasi hal-hal yang membatalkan shalat, di Madura, Jawa Timur, laki-laki dan perempuan justru campur seperti ini.
Tak ada batas pemisah antara jamaah laki-laki dengan perempuan. Dalam satu sap, bisa terdiri dari laki-laki dan perempuan. Seperti yang terlihat saat pelaksanaan shalat Idul Adha di Masjid As-Syuhada, Kabupaten Pamekasan, Madura, Rabu (22/8/2018).
Layaknya senam aerobik, jamaah shalat bercampur. Biasanya dalam satu keluarga, jadi satu sap. “Ini memang sudah terbiasa seperti itu. Kiai-kiai dan dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam sudah tahu. Tidak masalah kok, fine-fine saja,” kata salah seorang jamaah shalat Id di kota ini, Hadari.
Diantara jamaah shalat id ini, jamaah perempuan kadang shalat di depan jamaah laki-laki, ada juga yang terlihat beriringan pas disamping laki-laki sebagaimana barisan senam aerobik yang biasa digelar di depan masjid Agung As-Syuhada kota itu, setiap hari Minggu.
Cara shalat campur antara laki-laki dan perempuan sebagaimana jamaah di masjid As-Syuhada yang merupakan masjid terbesar di kabupaten yang menerapkan syariat Islam itu, sudah dianggap wajar oleh para tokoh agama dan dosen Perguruan Tinggi Agama Islam setempat.
Buktinya, tradisi semacam itu, sudah berlangsung bertahun-tahun dan tidak dipermasalahkan. Sebagian muslim malah mengaku senang, sebab tidak harus terpisah dengan keluarganya. Sedangkan warga yang biasa melaksanakan shalat Id sangat banyak.
“Saya juga tidak mengerti kok bisa ya? Apa mungkin ini yang disebut Islam toleran atau Islam Nusantara, atau apa ya? Soalnya, setahun saya, laki-laki dan perempuan jika shalat dalam satu jamaah seperti ini harus pisah,” kata salah seorang jamaah yang juga shalat di masjid As-Syuhada Pamekasan itu Dedy Priyanto.
Dedy mengaku, dirinya memang bukan lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam atau lulusan pondok pesantren. Ia mengaju, hanya mengetahui ketentuan itu, saat sekolah madrasah di desanya dulu. “Kata ustat dulu harus pisah. Mungkin sekarang sudah beda, jadi bisa campur antara laki-laki perempuan seperti ini,” katanya. (MADURAKU.COM)