
Tokoh Madura yang kini sukses di Jakarta, yakni Haji Rawi.
Alkisah, ketika Jembatan Suramadu akan dibangun, terjadi perdebatan alot antara pimpinan proyek dan warga Madura. Si pimpinan proyek berkeras akan membangun jembatan yang menghubungkan Madura dengan Surabaya itu dari beton bertulang. Alasannya, agar bisa tahan hingga 50-an tahun. Rencana ini ditolak mentah-mentah warga. Mereka minta jembatan dibuat dari besi seluruh
“Kalau dibuat dari besi, setelah 50 tahun kan jadi besi tua, bisa dipotong-potong dan dijual kiloan, Pak,” begitu alasan mereka kepada si pimpinan proyek.
Terlepas dari benar-tidaknya peristiwa yang disampaikan H Musa, MBA, dalam buku Humor Madura terbitan Kelompok Gema Insani pada 2006 itu, yang pasti, citra orang Madura sebagai pedagang besi tua memang melekat begitu kuat.
Bagi orang Madura, segala jenis logam adalah uang. Tak peduli besar atau kecil logam itu, pabrik peleburan besi pasti menerimanya. Namun yang paling menguntungkan adalah menjual besi-besi kapal bekas, yang beratnya ribuan ton. Selain kapal bekas, pabrik-pabrik tua yang sudah tidak berproduksi lagi menjadi salah satu obyek incaran mereka.
Sebetulnya bukan cuma besi tua. Banyak orang Madura yang juga menekuni usaha penjualan kayu-kayu bekas dan barang-barang rongsokan lainnya. Di sepanjang pinggir Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta ruas Kembangan, Jakarta Barat, atau sepanjang Jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender, Jakarta Timur, misalnya. Di sana banyak orang Madura yang menjual aneka bahan bekas, seperti drum bekas bahan kimia, tong bekas wadah cat, jeriken, dan wadah-wadah plastik lainnya.
“Kayu-kayu bekas packing mesin-mesin berat itu paling banyak dicari orang karena kualitas pasti bagus,” kata Mas Soleh, 58 tahun, pedagang kayu bekas di Klender. Selain kayu bekas packing, ia banyak menjual kayu dari bongkaran rumah. Khusus pada kayu bekas packing biasanya terdapat paku-paku baja berbagai ukuran, yang bisa dijual lagi ke pabrik peleburan.
Dari puluhan kios besi tua dan kayu bekas di Klender, sebagian pedagang ada yang mengolahnya kembali menjadi meja-kursi atau rak untuk di dapur. Sedangkan besi dan pelat bekas ada yang dibuat rak display untuk di toko-toko. “Kami sudah ada pemesannya. Ini cuma sebagian yang dijual di sini,” ujar Yahya, 37 tahun, pedagang barang bekas di Klender.
Menurut Ketua Umum Ikatan Keluarga Madura Muhammad Rawi, awalnya orang Madura banyak bermukim di Tanah Abang, Jakarta Pusat, lalu ke Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tapi, dalam beberapa tahun terakhir, komunitas orang Madura paling banyak bermukim di kawasan Jakarta Timur seiring dengan terus tumbuhnya kawasan industri.
“Tanah Abang itu wilayahnya tukang sate, sedangkan Tanjung Priok biasanya para pedagang pelabuhan. Pasar Ular (di Plumpang, Jakarta Utara) itu cikal-bakalnya Madura. Terus ada Pasar Mambo (Tanjung Priok) tempat barang-barang antik dari Cina,” ujar Rawi.
Orang-orang Madura di Jakarta membentuk banyak organisasi. Ada Ikatan Masyarakat Madura, yang biasanya beranggotakan tukang sate serta tukang besi dan barang rongsokan. Ada juga kelompok Rampak Naong untuk kalangan pejabat dan Potre Koneng untuk pedagang ikan.
Rawi sendiri mengaku hijrah ke Jakarta saat masih belia pada awal 1970-an. Dengan hanya berbekal ijazah sekolah dasar, ia bekerja serabutan. Menjadi pengepul limbah di belakang kantor Astra, Bintang Tujuh, dan Krama Yudha pernah dilakoninya, selain menjadi pedagang sate. Tapi kehidupannya mulai mekar ketika ia menjadi tukang parkir di kampus Jayabaya pada 1978-1984. “Di antara mahasiswa itu, ada saja yang bolos. Buku-bukunya dititipkan ke saya dan saya baca-baca saat senggang,” Rawi mengenang.
Lelaki kelahiran Sumuragung, Bangkalan, itu kemudian menjalin hubungan simbiosis dengan para pedagang keliling agar mangkal di pinggiran kampus. Tapi Rawi melarang para penjual bakso, nasi goreng, gado-gado, dan aneka jajanan lainnya menyiapkan air minum. “Dari Senin sampai Jumat saya bisa jual 700 kerat minuman botol,” ujarnya tersenyum bangga
Keuntungan dari monopoli penjualan minuman membuat pundi-pundi Rawi menumpuk cepat. Pembawaannya yang supel membuat dia tetap disenangi para pedagang hingga kemudian ditunjuk sebagai ketua pedagang kaki lima se-Jakarta Pusat. Seiring dengan itu, jaringan pertemanannya kian luas. Rawi pun mulai merambah bisnis jual-beli besi bekas.
Menurut Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama Masduki Baidlowi, orang Madura mulai banyak yang hijrah ke Jakarta pada 1960-an. Di Ibu Kota, mereka bekerja serabutan demi mempertahankan hidup. Maklum, kondisi alam di kampung halaman, khususnya daerah Sampang dan Bangkalan, sangat kering dan bekal pendidikan mereka kurang.
Orang Madura, kata dia, punya prinsip akar kar nyolpek. Artinya, ayam tiap bangun tidur langsung menggunakan cakarnya untuk mengurai tanah. Orang Madura pun harus demikian bila mau bertahan hidup. “Jadilah mereka kemudian berbisnis limbah atau barang bekas, besi tua, yang oleh orang lain tak dianggap berarti,” kata lelaki kelahiran Bangkalan pada 1958 itu.
Masduki menyebut kehadiran orang-orang Madura di bisnis sektor ini sebetulnya sangat berarti bagi kalangan industri. Dalam ekosistem industri, mereka berperan sebagai pengurai dan pemasok bahan mentah sekaligus. “Ini berjasa menjaga kebersihan lingkungan sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan dan memutar roda ekonomi masyarakat,” katanya. (MADURAKU.COM/DETIK.COM)
salam sukses😁
LikeLiked by 2 people